Sabtu, 11 Agustus 2012

Davichi ' BIG Ost - 너라서 With INDOTRANS by Eghachunnie

Davichi Big Ost - 너라서 With Indo Translation by Eghachunnie

자꾸 겁이나 널 사랑해서
jaggu geobina neol saranghaeseo
aku terus saja merasa takut, karena sudah mencintaimu

더 다가서면 멀어질까 말도 못해 바보처럼
deo dagaseomyeon meoleojilgga maldo mothae, babocheoreom [eghachunnie.blogspot.com]
jika aku mendekat, kau akan menjauh aku tidak bisa berkata apapun, seperti orang bodoh 

널 생각하면 아린 마음에
 neol saenggakhamyeon, arin maeume
 jika aku memikirkanmu, hatiku jadi panas

한숨만 나와 실없이 웃다 울어 너 때문에 아파
hansumman nawa shileopshi utda uleo neo daemune
apa aku hanya mengeluh tak berguna, tertawa, dan menangis
Karenamu aku merasakan sakit

너라서 이렇게 사랑하는 너라서
neoraseo ireohge saranghaneun neoraseo
karenamu....aku begini karena mencintaimu [eghachunnie.blogspot.com]

몇 번도 참을 수 있어
myeot beondo chameul su isseo [eghachunnie.blogspot.com]
berapa kalipun aku bisa menerimanya

처음부터 너 하나밖에 난 몰랐으니까
cheoeumbuteo neo hanabakke nan mollasteunigga 
dari awal, aku tak tahu yang lain selain dirimu satu-satunya

다 너라서 이렇게 보고 싶은 너라서 사랑해 
da neoraseo ireohge bogo shipeun neoraseo, saranghae 
Semuanya karenamu, aku begini karena merindukanmu, aku mencintaimu

너무 아프지만 너무 힘들지만 너라서 난 괜찮아
neomu apeujiman, neomu himdeuljiman neoraseo nan gwenchanha [eghachunnie.blogspot.com]
Meski sangat sakit, meski sangat sulit...karenamu, aku baik-baik saja 

언제나처럼 마음 졸리며[eghachunnie.blogspot.com]
eonjenacheoreom maeum jorimyeo
 seperti biasa, mengusik hatiku 

또 바라보고 또 기다리다 지쳐 너 때문에 슬퍼
do barabogo do gidarida jichyeo neo daemune seulpeo
dan melihatmu, menunggumu, aku sedih karenamu

너라서 이렇게 사랑하는 너라서
neoraseo ireohge saranghaneun neoraseo
karenamu....aku begini karena mencintaimu

몇 번도 참을 수 있어
myeot beondo chameul su isseo
berapa kalipun aku bisa menerimanya [eghachunnie.blogspot.com]

처음부터 너 하나밖에 난 몰랐으니까
cheoeumbuteo neo hanabakke nan mollasteunigga 
dari awal, aku tak tahu yang lain selain dirimu satu-satunya

다 너라서 이렇게 보고 싶은 너라서 사랑해 
da neoraseo ireohge bogo shipeun neoraseo, saranghae 
Semuanya karenamu, aku begini karena merindukanmu, aku mencintaimu [eghachunnie.blogspot.com]

너무 아프지만 너무 힘들지만 너라서 난 괜찮아
neomu apeujiman, neomu himdeuljiman neoraseo nan gwenchanha
Meski sangat sakit, meski sangat sulit karenamu, aku baik-baik saja 

너라서 이렇게 사랑하는 너라서
 neoraseo ireohge saranghaneun neoraseo
karenamu....aku begini karena mencintaimu

다 너라서 이렇게 보고 싶은 너라서 사랑해
da neoraseo ireohge bogo shipeun neoraseo saranghae
Semuanya karenamu, aku begini karena merindukanmu, aku mencintaimu

자꾸 욕심이나 자꾸 눈물이나 너라서
jaggu yokshimina jaggu nunmulina neoraseo
aku terus saja serakah, terus saja menangis

다 너라서 da neoraseo
semua itu..karenamu [eghachunnie.blogspot.com]

hangul by DETers.Love.Davichi ,Translate by : [eghachunnie.blogspot.com] Eghachunnie
Ok.... Lagu ini benar2 menguras airmataku.. T.T hmmmmmh... Tiap denger lagu ini selalu teringat kyungjoon [yangg terjebak ditubuh yoonjae] waktu bilang ke da ran supaya da ran terus ingat sama dia [sbg kyungjoon] huaaaa... Daebak ni dramanya...*ambil tissue*
Bosan!! Ya...ya...aku sangat bosan Selama beberapa bulan ini terjadi beberapa perubahan dihidupku Aku bukan lagi seorang mahasiswa :p Aku sekarang BEKERJA! One step grow up to be better~ Dapat pekerjaan ini tentu ga gampang...ada tahapannya..yang menurutku justru disini aku mau berusaha... XD gyahahahaha.. Aku sadar, selama ini aku ga pernah serius melakukan yang seharusnya ku jalani. Tapi disaat ini TIDAK, karena aku berpikir tentang masa depanku. Dan sekarang aku mulai bekerja. Saat awal ku geluti pekerjaanku ini, ternyata memang tidak mudah...sulit bahkan. Perlu mengorbankan banyak tenaga, waktu, pikiran, dan PERASAAN! Ya! Perasaan..... Banyak makan ati...banyak sakit hati.... Beginilah resiko pekerjaan yang mengharuskan kita bertemu dan menghadapi orang banyak...dan orang2 baru. And u know whaaaat? Dari semenjak aku training sampai diterima bekerja... Aku ga pernah bisa nonton TV... Akupun jarang update.... Dan tanganku gataaaal karna tak pernah lagi menyentuk laptop atopun kompi.. Щ(ºДºщ) aku bisa gilaaaa... Ditempat baru ini pun aku kesepiaaan. Tanpa TV dkamar kost, tanpa speaker, tanpa laptop...tanpa daya T.T jauh dari orangtua..jauh dari rumah... Bosan...bosan...rutinitasku itu itu saja... Ternyata bekerja mencari sesuap nasi itu benar2 sulit. Ga bisa membayangkan, kedua ortuku pasti jauh lebih berat dari ini.. T.T Mom, Dad....maapin aku.

Senin, 06 Agustus 2012

Someone Like You | Straight | 1|

Disclaimer : THIS FF is MINE, PLOT is MINE, DO NOT COPY CAT
Warning : This story is 100% my imagination, if you like this story please coment but not bashing and plagiat.Thank You for that
Genre : Romance, Sad
Author : myself "Egha aka Choi Sae Rin"

Someone Like You
“Apa acaramu hari ini?”, Junsu menoleh padaku sambil mengancingkan ujung lengan kemejanya. Aku mendesah sambil mengikat rambutku lalu melihat jadwal harian di ponselku. Tanpa menjawab aku berjalan kearahnya. “Ini!”, ku angsurkan dasi yang tadinya menggantung di pundakku. Junsu mengernyit menatapku sejenak dengan tatapan memelas saat aku hampir membelakanginya. Ia mendecakkan lidah lalu menjontorkan bibirnya sambil tetap menatapku dengan airmuka berlebihan. “Kau tidak berniat memasangkan dasi untukku?” protesnya dengan nada meninggi. Aku tahu, itu kekesalan yang ia buat-buat. Dilihat dari tampangnya, ia tak serius. Aku terkekeh tanpa suara. “Hari ini aku mau berkunjung ke rumah ibu”, ujarku kemudian setelah hampir satu menit diam saat mulai memasangkan dasinya. “Jam??” tanyanya singkat. “Secepatnya”, aku mendesah pelan. “Kenapa? Apa kau mau mengantarku?”, tantangku. “Kenapa kau mendesah begitu?”, ia protes lagi. “Tentu saja aku akan mengantarmu”. “Terimakasih”, kurapikan kerah kemejanya. “Kalau begitu sekarang saja. Aku akan bersiap, kau sarapanlah dulu!”, ujarku sambil berlalu. **** “Apa kau mau ku jemput?” ia berkata sambil mengangsurkan karangan bunga yang sempat kami beli ditoko bunga langgananku. “Kau tidak perlu membelikan bunga untuk ibu, cukup kau bawa badan sehat dan senyum untuknya, aku yakin dia sudah sangat senang!”, celotehnya. “Kau ini cerewet sekali!”, aku tersenyum. “Ah….”, Junsu terkejut sambil meraba-raba saku jasnya. Aku yakin ponselnya bergetar. “Mm, eunjeong~ah”, Junsu mengangkatnya cepat-cepat. Tanpa ia sadari lambat laun senyumku berganti desahan datar hampir tak bersuara. Junsu masih melihatku berdiri didepannya, sebelum berbalik ia memberi kode padaku dengan gerakan tangan dan bibir tanpa suara yang mengisyaratkan ia akan pergi. “Ganda~”. Ia melambaikan tangannya lalu berbalik meninggalkanku menuju mobil dengan ponsel yang tak lepas dari telinganya. Lagi-lagi aku memandangi punggungnya yang sedang beranjak meninggalkanku. Selalu hanya seperti inilah yang sanggup kulakukan. Entah sudah berapa kali aku mendesah setelah ia membalikkan badan memunggungiku tadi. Park Jun Su, lelaki bertubuh jangkung dan tampan itu adalah suamiku. Setidaknya begitulah yang mereka tahu. Karena suatu alasan, kami berdua menikah seperti ini. Pada awalnya kami memang dijodohkan. Kami juga sempat berpacaran, bahkan bertunangan. Hubunganku dengannya bukan tanpa dasar. Aku mencintainya, bedanya ia tidak. Kukira selama ini ia juga mencintaiku. Ia selalu jadi pacar yang baik untukku, ia seorang pria yang sangat baik sampai tak sedetikpun aku berpikir buruk tentangnya. Dia tak pernah mengeluh padaku. Namun beberapa hari sebelum pernikahan kami, ia mengejutkanku dengan berkata ia sama sekali tidak punya perasaan apapun terhadapku. Saat itu tentu saja aku hampir saja mati kaku mendengarnya. Sepersekian detik kemudian iapun berkata bahwa ia mencintai wanita lain selama ini. Hubungan kedua orangtua kami dan rasa sungkan padakulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk menjelaskannya dari awal. Bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Aku marah tapi disisi lain aku tidak sanggup membencinya. Amarahku yang keluar berganti menjadi luapan airmata yang berhari-hari tak kunjung habis dan surut dari mataku. Aku tak bisa menyalahkan dia, bahkan wanita yang dicintainya juga. Cinta…. siapa yang terpikir kau akan jatuh cinta dengan seseorang, dengan orang dan status yang bagaimana. Aku juga tak bisa menyalahkan kedua orangtuaku atas jebakan perjodohan yang telah mereka rancang sedari kami kecil. Jauh-jauh hari aku sering berpikir sebenarnya bagaimana perasaan JunSu padaku selama ini. Perasaan ragu yang kuretas selama ini tentang perasaannya padaku, ternyata sebuah kebenaran. Siap atau tidak, beginilah kenyataannya. Dengan memikirkan perasaan kedua orangtua kami, aku memintanya tetap menikahiku. Aku bersedia berkorban membiarkannya tetap mencintai wanitanya, dan menjalani kehidupan asmaranya sebebas yang ia mau. Aku bilang padanya untuk tetap melakukan semuanya agar terlihat wajar didepan orang tua kami. Ia memelukku, memohon maaf untuk semua kebodohan dan kemunafikan yang telah ia perbuat padaku. “Yaa~ Inhyeong~ah!!!”, aku mengerjap. Sesosok wanita berponi menatapku dengan tatapan bingung sambil menyodorkan secangkir teh didepan wajahku. “Tidak adakah cara lain yang lebih ekstrim dari ini untuk membunuhku?”, tanyaku ketus, jantungku berdebar keras sekali. Aku paling tidak suka dikejutkan secara tiba-tiba. “Kau pikir, sudah berapa kali aku memanggilmu? Mulutku sampai ingin jatuh rasanya!”, ujarnya sebal seraya melipat tangannya di depan dada. “Memangnya apa yang kau lamunkan?? Kebodohanmu lagi? Huh? Ah~ salah, tapi keidiotanmu itukah?”, bisa kulihat bola matanya berputar. “Jihyeon~a, kita sudah pernah membahas ini berulang kali”, suaraku melunak, jujur aku lelah selalu dirong-rong oleh gadis yang satu ini, sahabatku. Ya, hanya dia, aku, Junsu, kekasih Junsu, dan Tuhan yang tahu akan ini semua. “Hhhh….sebentar lagi aku yang akan mati melihatmu terus begini”, jihyeon menyeruput tehnya, kemudian meletakkan cangkirnya kembali. “Apa kau tahan hidup berdua dengannya seperti ini, satu rumah dalam ikatan pernikahan, tapi kau tidak sama sekali memilikinya”, jihyeon membanting tubuhnya diatas sofa. Aku melotot padanya memberi isyarat aku sedang tidak minat untuk berdebat hari ini. “David lee, bukankah dia pria yang baik?, kenapa kau tidak mengencaninya saja? Itu akan lebih baik”, jihyeon mencoba meredakan rasa kesalku yang mulai terlihat dari kilatan mataku. “Kau tahu kan, aku tidak suka pria blasteran”, jawabku datar. Kulihat jihyeon mulai memutar bola matanya lagi. “Lalu kau mau bagaimana lagi? Apa kau mau kujodohkan dengan ajusshi tukang kebun disamping rumah itu?”, ejek jihyeon seraya menjontorkan bibirnya menunjuk ke luar jendela. Aku menatapnya sejenak, mirip memelototinya dalam diam, kemudian tertawa terkikih-kikih. “Ke…kenapa k..kau tertawa begitu? Menakutkan~ tsk”, kulihat jihyeon bergidik menatapku. “Menggelikan!”, aku tertawa sambil terus memegangi perutku. ***** Menurut jihyeon, aku ini orang yang terlalu baik. Dia bahkan bilang mungkin saja aku ini jelmaan malaikat. Katanya, bagaimana mungkin seorang wanita dengan ikhlas menikahi seorang pria yang tidak mencintainya dan membiarkan pria itu mereguk kehidupan cintanya bersama wanita lain. Memang itu sangat menyakitkan, tapi aku tak sanggup melakukan apapun. Jihyeon salah, aku bukan wanita sebaik itu. Adakalanya muncul imajinasi buruk yang ingin kulakukan pada Junsu saat aku kesal. Aku sering berkhayal untuk mengikatnya dirumah, di meja dapur dan tak memperbolehkan ia bergerak se-inchi-pun dari tempatnya. Adakalanya aku berimajinasi untuk menggunakan ilmu hitam agar junsu takluk dan berlutut dihadapanku. Bahkan aku pernah berkhayal untuk membunuh eunjeong kekasihnya diam-diam, dengan begitu mau-tidak-mau Junsu akan jadi suamiku seutuhnya--tanpa gangguan siapapun. Tapi pikiran kotor diotakku itu entah bagaimana—terasingkan begitu saja disudut kepala yang tak mudah dijangkau, sehingga membuatnya tak pernah terealisasi. Sejauh ini aku hanya bisa pasrah. “Kenapa kau tidak menghubungiku?”, Junsu mengendorkan dasinya. Aku meliriknya sekilas sambil mengaduk cangkir gemuk berisi susu coklat. “Aku pikir kau bersama eunjeong”, jawabku singkat. “apa kau mau susu coklat?”, tanyaku kemudian. Kulihat Junsu menggelengkan kepalanya. “sudah makan?”, tanyaku lagi, kali ini ia mengangguk. “Sepertinya aku mau flu”, Junsu menggosok hidungnya. “Udara diluar dingin sekali”. “Kau mau kuambilkan vitamin?”, tawarku sedikit khawatir. Junsu menggeleng, orang ini memang lebih suka menggunakan bahasa non verbal. “Mau kunyalakan pemanas ruangan?”, lagi-lagi junsu menggeleng. “Kau memang istri yang baik”, ujarnya kemudian dengan senyum. “Kurasa memang begitulah tugas seorang istri”, aku meringis, mengucapkan kata ‘istri’ membuat dadaku berdesir. Aku mengalihkan rasa gugupku dengan meneguk susu coklat dicangkirku dengan cepat, membuat lidahku terbakar. Sial, aku lupa. Perkataan Junsu semalam benar. Pagi ini aku menemukannya demam, meringkuk di ranjang. Ia terlihat menggigil dan mengigau. Dan sekarang aku membiarkan junsu di kamar, setelah mengompresnya dengan air hangat. Sekarang aku harus membuatkan bubur untuknya. Sejujurnya aku tak begitu pandai memasak, yang bisa kulakukan hanya masak nasi dan merebus ramyeon, dan sangat kebetulan bibi yang biasanya bekerja dirumahku tidak datang hari ini. Aku menatap layar ponselku lama, aku merasa gengsi untuk bertanya pada ibu bagaimana cara memasak bubur. Sekarang era yang sudah canggih bukan? jangan menertawakanku karena aku memang belum pernah memasak bubur sebelumnya. Baru kali ini aku mengurus seseorang yang sakit dengan tanganku sendiri. Aku tidak tahu, sudah berapa lama waktu yang kuhabiskan didapur. Kuharap eksperimenku kali ini bisa membawa kesembuhan pada Junsu. “Dimana Junsu?”, aku terhenyak sesaat. Sejenak kurasa aku terkena alzeimer tiba-tiba. Kapan aku membukakan pintu untuknya? “Aku boleh masuk kan?”, Oh, ya! Beberapa detik yang lalu (?) aku yang membukakan pintu saat kudengar suara bel pintu apartementku. Aku menggeser tubuhku mempersilahkannya masuk. Eunjeong tersenyum sekilas padaku sebelum akhirnya ia masuk. Setelah menutup pintu aku bergegas kembali ke dapur. Bukan kali ini saja Eunjeong berkunjung ke rumahku, jadi aku membiarkannya melenggang ke kamar junsu sendiri. **** Tanganku gemetar. Lutut dan sendi tubuhku lemas. Aku hampir saja menumpahkan bubur dinampan yang sedang kubawa. Apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sudah seharusnya kutolerir. Ya….seharusnya!. Tapi kenyataannya tak begitu. Melihat sepasang kekasih berciuman, sebenarnya hal yang wajar. Aku hampir tak sanggup bernafas. Untuk sesaat aku mulai menyalahkan nasibku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh? Kurasa aku akan mati sedikit-demi-sedikit karna sakit ini. Setumpuk airmata yang menggenang dipelupuk mataku tumpah tanpa kuharapkan. Ini bertambah menyakitkan. Nampan berisi bubur kuletakkan begitu saja didepan pintu kamar Junsu, yang kupikirkan sekarang aku harus keluar dari rumah ini segera untuk menjernihkan kepalaku. Kusambar syal sekenaku dan bergegas. Didalam lift, tangisku meledak. Aku menutupi wajah dan mencoba meredam suara tangisku dengan syal yang kubawa tadi. Saat pintu lift terbuka aku masih saja tak sanggup menghentikan airmataku. Seorang petugas security yang kebetulan lewat melihatku heran. Aku menghiraukannya, masa bodoh. Kupercepat langkahku keluar gedung apartement, berjalan tanpa tujuan. Untuk sekarang, aku berharap jika saja aku bisa sejenak menghilang dari dunia ini. Apa yang akan Junsu pikirkan. Apa ia akan mencariku? Atau bahkan merindukanku? Semua pertanyaan itu membuatku penasaran. Bodoh. Untuk apa aku mengharapkan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Nyatanya Junsu tak mungkin mencemaskan atau merindukanku. Ada Eunjeong disampingnya. Bahkan tadi aku melihat mereka bermesraan dengan mata kepalaku sendiri. Bagi Junsu, didunianya hanya ada Eunjeong seorang. Bukan aku. Jadi sama sekali tak ada pengaruhnya dengan ada atau tidaknya aku disisinya. Kenapa hanya aku yang merasakan hal menyakitkan ini, kepasrahanku justru membuatku semakin terpuruk pada perasaan sepihakku pada Junsu. Hanya dengan sedikit saja memikirkannya, dadaku sakit. Kurasa lebih baik aku terkena demensia. Setidaknya itu tak akan membuatku mati menderita karna perasaan ini. “Inhyeong~ah??”, aku mengangkat wajahku. Sepertinya aku mulai berhalusinasi. Aku melihat sosok Junsu didepanku dan memanggilku sambil menggucang badanku. “Junsu~ya”, jawabku senang dan semua mendadak gelap. **** “Apa yang kau lakukan disana?”, tanyanya. Seorang lelaki berperawakan tinggi dan berwajah sedikit bule itu menatapku khawatir. “Hmmmh”, aku melenguh sambil meraba jidatku sendiri. Mencoba mengingat hal yang sebelumnya terjadi padaku. Aku benar-benar berhalusinasi semalam. “Apa kau mencoba bunuh diri dengan berdingin ria diluar semalaman?”, keningnya berkerut. “Terimakasih”, jawabku tersenyum kecut. “Semalam kau demam, maaf aku membawamu kesini. Tapi tenang saja, aku sama sekali tak melakukan hal memalukan lainnya selain menggantikan bajumu semalam”, ucapnya. Mataku melebar mendadak menatapnya. “Bercandaaa~”, imbuhnya diiringi seringaian senyuman nakal yang hampir membuatku melempar selimut yang masih mengerubuti sebagian tubuhku padanya. “Minumlah ini”, ia menyodorkan cangkir yang mengepulkan sedikit asap padaku. “Jeruk hangat dan madu untuk meningkatkan stamina tubuhmu yang kurus kerontang itu”, ejeknya menyeringai. “David!”, seruku pelan sebelum ia sempat melangkah keluar kamar. “Terimakasih sudah membuatku tidak mati sia-sia semalam”. “No problem honey”, jawabnya dengan anggukan. Dia David Lee, pria blasteran Inggris-Korea yang sudah 5 tahun ini menjadi sahabatku. Berkepribadian baik, tidak bisa diam, terkadang cool, terkadang memalukan. Jihyeon menyuruhku berkencan dengannya. Tapi itu tak mungkin terjadi. Ia sudah seperti kakakku sendiri. Dan kurasa David juga tak mungkin menyukaiku. Sikap baiknya itu memang karakternya dan ditujukan untuk semua manusia yang ditakdirkan menjadi wanita. Ia sangat menghargai seorang wanita. “Kau tidak tanya apapun mengenai semalam?”, tanyaku. Aku duduk dimeja makan sambil mengunyah sandwich yang David buatkan untukku. Kulihat ia menggeleng. Aku sedikit heran. “Aku sama sekali tidak ingin bertanya apa-apa”, jawabnya sambil menuangkan jus jeruk digelasku. “Haruskah aku bertanya sesuatu?”, David pura-pura berpikir. “Mmmmm…”. “Tet Toot!! Maaf kesempatanmu bertanya sudah kadaluarsa sedetik yang lalu”, jawabku asal. David tertawa menatapku geli seraya memasukkan botol jus kembali ke dalam kulkas. “David!”, seruku. “Bolehkan selama beberapa hari ini aku menginap dirumahmu?”, aku meringis. David terlihat berpikir. “Kau mau menggodaku ya?” tanyanya serius. “Bagus! Lakukan saja, semoga kau lekas bercerai dengan dia”, David mendekatkan wajahnya dan memangku dagunya tepat didepan wajahku, 5 inchi saja dia maju mungkin kami bisa berciuman –tanpasengaja-. Aku mendorong-dorong dahinya dengan telunjuk. Tuk tuk tuk. “Dia siapa yang kau maksud?”, aku mencibir. Selama ini David tak pernah sekalipun menyebut nama Junsu didepanku. Entah sengaja atau tidak, ia selalu berdalih tak pernah bisa mengingat nama Junsu. Memori di otaknya tak cukup untuk menampung nama Park Junsu. Menggelikan. “Ya….dia~”, ia berdecak dengan dahi berkerut. “Menurutmu siapa lagi? Kau bukan penganut polyandri kan sejauh ini?”, tanyanya serius, namun tampak konyol. “Aku serius”, aku mengetuk telunjukku lagi di dahinya. “OK! OK!”. **** Jihyeon Nampak berseri. Tak henti-hentinya ia menatapku dengan senyum yang terus mengembang. “Apa sekarang orientasi sex mu berubah?”, tanyaku heran. “Aku menangkap tatapan penuh rasa cinta dimatamu saat memandangku”, imbuhku bergidik. Jihyeon cemberut, tapi kemudian tersenyum lagi. “Aku sudah mendengarnya. Itu bagus! Itu bagus! Baru kali ini kau melakukan sesuatu yang benar!”, selorohnya dengan mata berbinar. “Apa maksudmu?”, tanyaku bingung. Soal aku meninggalkan Junsu semalam? Atau? “Ehm”,Jihyeon membaca pikiranku dan menggeleng. “Kau dan David!”, teriaknya. “Ssssttt, jangan teriak-teriak”, aku meringis melihat beberapa orang di café siang itu memandangi kami berdua. “Ini langkah yang tepat! Tidak sulit kaaan~”, jihyeon menyeringai lebar. “Maksudmu apa??? Aku menginap dirumah David bukan dalam rangka selingkuh atau cinta-cinta-an!!”, seruku. “Hatiku sedang retak-retak saat ini! Sama sekali tak berniat untuk mencoba hal yang lain”, sanggahku lagi. “Jangan bertahan lagi Inhyeong~ah”, senyum Jihyeon memudar, ia mendesah. “Apa dengan menyakiti diri sendiri dan harga dirimu membuatmu bahagia?”. “Jihyeon~a….menurutmu….ah lupakan!” ujarku lesu. “Cobalah dengan David! Kumohon demi aku!”, rengek Jihyeon. “Kalau Junsu punya kehidupan asmaranya sendiri, kurasa kau juga harus mencoba meraih kebahagiaanmu sendiri”, jihyeon menatapku iba. Aku mendesah. Aku sudah mendengar jihyeon membujukku ribuan bahkan jutaan kali tentang hal ini. Mungkin kali ini aku memang harus sedikit mendengarkan nasihatnya. “Tunggu! Tapi kau tak benar-benar serius dengan David kan??”, tanyaku dengan kening berkerut. Seperti yang kutahu, David bukan seseorang yang bisa dan mau atau berniat menjadikanku kekasih. “Apa kau bercanda???”, Jihyeon meninggikan suaranya panik, ia menatapku gemas. “Apa kau sama sekali tak punya antena atau sejenis sensor…begitu??”, aku bengong. Jihyeon menatapku seolah aku orang terbodoh didunia saat ini. “Dia bahkan tak tahu masalah ini!”, tegasku. Jihyeon terdiam dan terlihat berpikir, kemudian meringis menatapku. “Ough….OK pertama! Maafkan aku Inhyeong~ah”, jihyeon memelankan suaranya dan menatapku dengan raut wajah bersalah. “David tahu semuanya! Selama ini ia hanya pura-pura buta dan tidak peduli”, imbuhnya, jihyeon meringis lagi memperlihatkan deretan giginya, menunggu reaksiku. Mataku melebar membalas tatapannya. “?????”. “Kau tidak mungkin menganggapnya tuli dan buta akan semua yang kau alami kan?? Bagaimana perasaannya terhadapmu, harusnya kau tahu”, jihyeon menambahkan sambil mendengus. Aku terdiam menyerap kata-katanya. Sungguh selama ini aku sama sekali tidak mempertimbangkan hal ini. Yaitu kemungkinan David yang menyukaiku(?). Terlebih soal David yang ternyata mengetahui masalahku selama ini. Kecurigaanku padanya, yang tak pernah menyinggung sama sekali soal pernikahanku, yah karna ia tahu. Dan itu membuatnya menjaga diri didepanku. Pantas saja ia tak pernah menanyakan hal yang seharusnya wajar ia tanyakan padaku, seperti semalam. Orang lain pasti akan bertanya ‘Mana suamimu? Kemana ia? Apa suamimu tak mencarimu? Bagaimana dengan suamimu?Kenapa kau tak pulang? Kenapa malah menginap di rumahku?’. “Kau kenapa?”, David menaikkan sebelah alisnya saat melihatku melamun didepan pintu. Aku tersenyum dan menggeleng padanya. “Tidak”, jawabku. Aku menatapnya mencoba menggali jawaban dibalik matanya saat ia menatapku. Apa benar yang Jihyeon bilang itu?? TBC Happy Reading.... some comment Please... ^^v