Minggu, 21 Juli 2013

HUJAN TERAKHIR ( Review Karya Lama)


Hujan Terakhir

Hujan hari ini masih tetap sama, tetap dingin dan membuat hatiku kelu. Aku mendekap tas mungilku, mencari sedikit kehangatan. Air beriak di sepanjang tepi jalan, seakan berteriak menertawakanku yang tertahan dibawah pohon kecil, kedinginan, merindukan selimut di tempat tidurku. Titik-titik hujan menyempit ke sela dedaunan. Berlomba untuk membasahi baju sekolahku yang tipis. Kutengadahkan tangan dan kepalaku. Mencoba untuk memohon pada sang pohon, untuk tetap bertahan melindungiku dari deraan hujan. 
Langit begitu gelap, matahari sepertinya sudah tak ingin menemaniku hari ini. Kutatap bangunan sekolah kebanggaanku yang tengah berdiri kokoh diseberang jalan. Terlihat lengang tanpa seorangpun berpijak disana. Waktu berjalan begitu cepat, tapi hujan ini tak jua cepat berlalu. Sebenarnya hari ini aku malas untuk pulang. Aku ingin lebih lama lagi mencari sisa kebahagiaan yang mungkin masih bisa kukejar, setidaknya untuk hari ini dan esok. Kalau bisa. 
Kepalaku mulai terasa pening,dan badanku serasa mengambang. Lututku lemas, rambutku sudah basah oleh guyuran hujan. Pandangan mataku mulai kabur, dan sesaat sebelum aku limbung, kulihat sesosok orang sedang berlari ditengah lapangan basket, bermain bersama hujan. Belum mampu kekenali siapa dia, semua sudah terlihat hitam. Masih bisa kurasakan, badanku jatuh tak berdaya. Dingin. Lemah. 



Semburat cahaya pagi menyilaukanku, kukerjapkan mataku. Dan bangun dari pembaringan. Badanku sakit, rasanya ngilu ketika aku menggerakkan sendi-sendi tubuhku. Dimanakah ini? Sepertinya ruangan ini tak asing bagiku. Aku kenal ruangan serba putih ini, tapi yang jelas ini bukan di rumahku. Kuyakinkan lagi ingatanku. Lalu kuhela nafas panjang. Iya, aku baru ingat, ini UKS sekolahku. Biasanya aku memang rajin untuk kesini. Bukan untuk menolong teman yang sedang sakit, Namun untuk menolong kehidupanku untuk hari –hari anehku. Sejenak kemudian aku bingung, siapa yang membawaku kesini. Tiba-tiba terdengar langkah kaki pelan mendekati UKS. Aku takut. Dengan nekat aku turun dari tempat tidur, meskipun kepalaku terasa masih pening sekali. Selimut tebal yang tadinya menyelimuti seluruh tubuhku jatuh kebawah. Kuberanikan diri mendekati pintu, secara mengejutkan, seseorang muncul dari balik daun pintu, dan hampir saja menubrukku. Jantungku seketika terhenti sejenak, lalu berdegup dengan amat kencangnya. 
“Hey!! Kamu udah nggak apa-apa?”, tanyanya tanpa menghiraukan kondisiku, yang mengatur nafas saja sudah kepayahan. 
“Ehh???”, jawabku mengeluh sambil memegangi dadaku.
“Kamu kayaknya belum sehat betul deh! Istirahat lagi aja!”, sambil menuntunku ke tempat tidur.” Aku ambilin sarapan dulu ya! Ntar baru minum obat!”.
Kukerutkan dahiku, aku baru menyadari bahwa mahluk yang tengah duduk dihadapanku ini adalah seorang cowok.
”Kamu siapa? Anaknya tukang kebun disini ya?”, tanyaku tanpa rasa canggung sama sekali.
Dia hanya tersenyum, lalu menatapku dalam.
“Ya ampun! Orang cakep kayak gini disangkain anak tukang kebun??”, katanya tertawa. “Hehe, masak kamu nggak kenal sih sama aku?? Aku juga murid sekolahan ini. Yah meskipun kita nggak sekelas. Tapi aku cukup kenal kamu kok, kamu kan yang pernah minta tolong sama aku waktu kamu nyembunyiin anak kucing di gudang belakang sekolah. Mm, gini aja deh, kita kenalan lagi. Kenalin aku Yudha, kamu Eri kan?”, ucapnya dengan senyum yang lembut sambil mengulurkan tangannnya.
Aku mengangguk dengan senyum tipis dibibirku. 
”Kemarin kamu tiba-tiba pingsan di bawah pohon sana. Jadi ya aku bawa kesini. Badan kamu panas banget”.
”Terus kenapa kamu bawa aku kesini?? Ini kan UKS sekolah???”.
”Ehmm, sory ya!! Soalnya aku nggak tahu rumah kamu dimana. Ya sebagai pertolongan pertama, aku langsung aja bawa kamu kesini.”
”Tapi, kamu nggak macem-macem kan sama aku??”, jawabku takut, menuduhnya sembarangan.
”Oh, God!!! Gila kali kalo aku macem-macem sama kamu!!!”, jawabnya sambil mengucek rambutnya. Aku masih memandangnya dengan hujaman prasangka buruk. Memelototinya, mendesaknya untuk benar-benar jujur. Dia hanya tersenyum menahan tawa sambil memandangku. 
”Emangnya tampangku nggak meyakinkan ya?? Hahaha....kemarin itu aku minta tolong sama ibu kantin buat nanganin kamu yang pingsan. Badan kamu kan basah kuyup, aku suruh ibu kantin pinjemin baju anaknya ke kamu. Jadi aku nggak macem-macem sama kamu!! Suerrrrrr deh!!!”, katanya dengan muka manis, membuatku percaya kalau dia memang baik.
”Mmm...makasih kalo gitu.”, aku menunduk malu.

Semenjak hari itu, aku mulai mengenal Yudha. Seseorang dengan pribadi yang menyenangkan. Membuatku mulai senang menjalani hari-hariku yang selama ini hampa. Kemanapun ia selalu ada, ketika aku kepayahan menyelesaikan hukuman karena terlambat, ketika hujan datang lagi, ketika mentari menyeringai menyambut pelangi. Ia selalu memberikan senyuman manis, membuat hatiku tentram.. Dia, Yudha! seseorang dengan kepribadian indah. Seseorang yang punya senyum terindah kedua setelah ibuku. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat orang ingin berteman baik dengannya. Aku suka sekali melihatnya, saat dia terseyum, matanya yang kecil itu menyipit. Manis sekali. 
Dia juga terlihat manis sekali, ketika dengan serius bermain basket di lapangan sekolah. Saat bola-bolanya masuk ke ring basket. Saat dia tertawa sambil melambai senang padaku. Dia seakan ingin menunjukkan padaku bahwa dia keren. Aku hany tertawa dan menjulurkan lidahku padanya.
Kali ini, hujan lagi. Yudha berlari-lari kecil menghampiriku sambil menutupi kepalanya dengan ransel hitam yang dikenakannya
”Nih, pake dulu jaketku. Hari ini dingin banget. Aku cariin pinjeman payung dulu! Kamu disini aja!”, katanya sambil melepas jaket, dan kemudian berlari ditengah hujan lebat.
Tak lama, Yudha muncul membawa payung kecil, sambil tersenyum. Badannya basah kuyup. 
”Hehe, akhirnya dapet juga. Nih dipake juga! Biar nggak basah”.
”Tapi Yud! Kamu basah!!”, kataku khawatir.
”Udah, nyante aja! Aku nggak bakalan sakit!! Udah biasa main hujan sih! Lain kalo kamu, ntar kamu yang sakit, kalo hujan-hujanan”, dengan senyum yang seketika itu membuat hati dan perasaanku hangat. Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan sahabat terbaik seperti dia. 
Tanpa kusadari aku menatap yudha begitu lama. Baru kali ini aku mengenal sahabat yang begitu baik dan perhatian. Andai saja waktuku masih ada untuk esok dan selanjutnya. Aku ingin sekali membalas kebaikannya.
”Ri, kamu masih kedinginan ya?”, tanyanya sambil membenarkan jaketku. ”Aku pinjemin jaket dulu ya!”.
”A...nggak usah!! Aku nggak apa-apa kok! Pake jaket kamu aja udah anget!”, kataku sambil menariknya, mencegahnya pergi, ”Udah kamu duduk disini aja, nemenin aku! ”.
Yudha menurut dan duduk disampingku.
”Ini udah sore banget, kamu aku anterin pulang aja ya! Kalo nungguin ujannya reda, bakalan sampe malem”, tawarnya.
”Nggak!! Aku mau disini aja. Aku takut pulang!”.
”Kenapa? Emangnya ada harimau ya dirumahmu?”. Aku hanya tersenyum dan mencubit lengannya.
”Yudha! Makasih banget!! Kamu baik sama aku”.
Memang aku takut untuk pulang, bukan lantaran ada harimau atau binatang buas atau apapun itu. Tapi, dirumah membuatku merasa semakin pendek saja nafasku. Makanya aku lebih senang melihat dan menanti hujan saat ini. Merasakan dinginnya air yang jatuh dari langit. Apalagi, ditemani oleh Yudha, sahabat yang baru ku kenal. Sahabat yang baik hatinya. Sahabat yang bisa membuatku sedikit bernafas panjang. Hujan, simbol kehidupanku. Kehidupan yang penuh dengan tetes kepayahan. Penuh tetes air mata. Jantungku yang angkuh ini, ia selalu meronta, menghujamkan beribu jarum, dan menancapkan sakit setiap saat.Membuatku payah menggapai hari.
”Ri, aku boleh nanya sama kamu?”, tanya Yudha tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, sambil melihat air yang beriak ramai di depanku.
Rasa hangat tiba-tiba datang menggelayut tanganku. Mencengkeramnya kuat.
”Ri, apa aku salah kalau aku sayang sama seorang cewek?”.
Aku masih bingung, kenapa tangannya terus menggenggam tanganku. Yudha menatapku dalam dan lekat. 
”Apa aku salah kalau cewek itu adalah kamu?”, kini ia memegang pundakku, kian dalam menatap wajahku. Payung yang sedang kupegangpun terlepas begitu saja tanpa kusadari.
”Aku sayang sama kamu Ri!!”.
Aku terhenyak sesaat, kutepis tangannya dari pundakku. Berlari jauh tanpa memalingkan muka. Tak menghiraukan teriakannya memanggilku. Tak bisa ku bedakan, hujan ataukah tangis yang membasahi pipiku. Aku takut, Tuhan!. Kenapa semuanya begini? Dadaku panas. Tiba-tiba aku tersungkur, badanku tak bisa bergerak. Kudengar hentakan kaki yang keras dan cepat menghampiri tubuhku. Mengangkat dan memapah tubuhku. 
”Yudha!! Maafin aku!!”, jawabku lirih sebisaku.
Dengan cepat yudha berlari mencari tempat yang teduh. Menyandarkanku dan menggosok-gosok tanganku yang telah dingin dan beku oleh hujan.
“Ri, plis maaf!!”, raut wajahnya khawatir. Seketika air mataku luruh tak terbendung. Aku tak sanggup berkata-kata.
“Yyud,,,”, kataku terisak, “ Aku nggak pantes buat kamu. Aku nggak bisa membalas kebaikanmu, dan aku nggak akan pernah sanggup untuk selalu ada buat kamu!”.
”Tapi Ri, kenapa?”, tanyanya cemas.
Aku hanya bisa tertunduk dalam. Aku takut membuatnya berharap banyak dariku. 
Hujan hari ini, akankah bisa kurasakan esok nanti. Masih dapatkah kuhirup bau semerbak hujan sore hari. Masih dapatkah aku melihat pelangi melengkung senyum indah tatkala hujan pergi. Kulihat Yudha tertunduk lesu, menghela nafas panjang. Kuberanikan diri menyentuh pundaknya.
”Maaf ,,,”.
Belum sempat aku melanjutkan kata-kata. Yudha merangkul pundakku. Menelungkupkan wajahnya tanpa berani memperlihatkannya padaku.
”Aku nggak peduli meski kamu nggak sayang sama aku, meski kamu nggak mau nerima aku,tapi plis jangan jauh dari aku!”, bisiknya.
”Yudha.....”
Tuhan. Jika kau masih mengizinkan aku kembali menghirup udara sampai besok. Aku ingin membuatnya senang hari itu. Aku ingin memberikan kebahagian yang tersisa sebisaku. Jadi Tuhan, bangunkanlah aku esok hari.

Cahaya jingga kali ini begitu hangat menyinari tubuhku. Tekatku hari ini sempat membuat hatiku goyah, sanggupkah aku?. Tuhan!! Sejenak saja beri aku sedikit lagi waktu. Waktu untuk menyapa sang surya, menelan manisnya hdup yang tersisa. Kulangkahkan kaki melewati pagar rumahku. Sebelum bus-bus kota menjajah jalanan, sebelum burung-burung bercicit, sebelum semua orang memulai aktifitasnya. Aku ingin segera sampai di hadapannya. Tidak biasanya, kali ini aku begitu merindukannya. Rindu senyuman dan tawanya. Kubuang semua botol-botol obat milikku, di jurang kecil tak jauh dari rumahku. Hari ini aku tidak ingin diganggu oleh rengekan obat-obat menakutkan itu. 
Kupijakkan kakiku di sebuah rumah mungil nan asri. Aku berdiri berusaha menekuk bibirku, agar dapat tersenyum ceria didepannya. Sedikit nyeri kurasakan, kutepuk-tepuk dadaku.
”Sabar ya!! Hari ini kumohon, bantulah aku!! Tenanglah untuk saat ini saja!! ”, kuhanya bisa berharap agar jarum-jarum yang menusuk dadaku tak bertambah banyak.
Sengaja aku menanti didepan rumah mungil itu, tanpa memberi tahu pada si pemilik rumah. Membiarkannya sampai ia keluar. Badanku lemas, akhirnya aku mencoba duduk dan beristirahat sejenak diteras rumah mungil ini. Kupejamkan mata, mencoba merasakan segarnya udara pagi ini. Merasakan sedikit mimpi.
”Eri!! ”, suara itu membuatku kaget.
”Hmm, Yudha!”.
”Kenapa kamu nggak ketuk pintu, supaya aku tahu kalau kamu udah datang? Disini kan dingin Ri!! Ayo masuk dulu!”, ajaknya lembut.
”Udah nggak usah! Kita jalan-jalan sekarang yuk!! Mumpung masih pagi, nggak panas!”, kutarik lengannya.
Seharian ini aku ingin merasakan indahnya kehidupan. Menyusuri jalan berdua dengannya. Sambil menggandeng tangannya yang hangat. Aku ingin bersenang-senang dengannya, sampai nanti aku tak menyesal karena telah mengenalnya. Taman bermain yang sudah kuimpikan sejak lama. Akhirnya aku bisa bermain juga. Kutahan rasa sakitku, sebisa mungkin tertawa. Agar membuatnya tidak khawatir saat ini. Bebek air, es krim, rumah hantu, harum manis, bianglala, balon, semuanya melegakan hatiku. Terutama saat melihat dan mendengar canda tawanya. Bermain sampai matahari tertelan bumi. 
Aku berusaha kali ini, membawakan cerita lucu dan konyol, membelikannya softdrink, membuatkannya gulali berbentuk superman. Iya, Superman kesayangannya. Hanya itu yang kutahu. Selebihnya, aku hanya tahu dia seorang yang baik. Baik sekali. Tulus.
”Ri, tangan kamu dingin banget!! Kamu sakit??”, tanya Yudha saat ia menyentuh tanganku.
”Ah, nggak apa!! Ini udah biasa!! Eh, kita belum nyobain itu!!”, tunjukku, kemudian menariknya.
”Nggak!! Kamu bohong!! Kamu pucat Ri!! Ayo kita pulang!!”, tegasnya. Tapi aku hanya diam dan menunduk dalam.
”Ya udah, kalo kamu nggak mau pulang, minimal kamu istirahat ”, sambil menggandengku, duduk diatas kursi taman. Hanya terlihat beberapa orang saja disitu. 
”Kamu duduk disini! Aku beliin kamu minuman sebentar. Jangan kemana-mana. Kalo gerak 1mm aja, aku bawain ambulance!!! Biar tahu rasa, disuntik sama pak dokter!!”, katanya dengan raut wajah serius. Aku mengangguk tersenyum padanya. 
Punggung itu lalu membelakangiku dan kian menghilang dari pandangan. Kupandang langit hitam kelam tanpa ada sesuatupun disana. Tanpa ada bintang dan bulan yang menghiasinya. Kalau sanggup aku melukis langit, kan kugambarkan bermacam-macam persaaanku saat ini. Ingin sekali kutorehkan bulan, bintang, titik air, awan, matahari, dan pelangi. Egoisnya aku. Melukis semauku. Rasanya begitu lama, yudha tak juga datang. Membuatku galau.
Sesak, rasanya sesak didalam sini. Dirongga dadaku, tempat jantungku bertumpu. Udara semakin dingin. Nafasku mulai tarik menarik. Kusandarkan kepalaku pada tangkai kursi. Untuk menopang tubuhku yang hampir ambruk. Menghirup nafas dalam. Tiba-tiba titik air mulai berjatuhan dari langit. Menetesi satu demi satu pori-pori kulitku. Hujan lagi!!. Kuangkat wajahku. Sengaja kubiarkan basah oleh tetes air hujan. Kubaringkan tubuhku. Aku tak kuat lagi menahan rentetan jarum yang bertubi-tubi menghujam pembuluh jantungku. Akankah hujan kali ini adalah yang terakhir bagiku. Tuhan, terimakasih kau telah berikan hari ini. Terimakasih kau telah menghadiahkannya untukku. Rasanya mataku begitu berat.
Sayup terdengar suara orang tergopoh-gopoh menghampiriku. Memegang lenganku.
”Eri!!”, katanya lembut.
Kelopak mataku terbuka, memandang sesosok orang yang terengah-engah dengan wajah pucat pasi.”Maaf!”.
Aku tersenyum memandangnya. Tuhan masih mengijinkan aku untuk melihat seseorang yang kusayangi. Yudha mencoba melindungiku dari hujan dengan tubuhnya. Kupandangi lekat wajahnya supaya nanti aku tak kan lupa pernah mengenalnya. Kutarik tubuhnya, dan membiarkan dia duduk disampingku.
”Udah, nggak usah!”, kataku lirih. Yudha seakan tahu maksudku, ia hanya diam dan menurut. Kulihat gurat kegalauan diwajahnya. Kusandarkan kepalaku dipundaknya. Hujan mulai berangsur mereda. Hanya sedikit gerimis yang mengiringiku.
”Yudha, aku suka sekali hujan. Hujan waktu itu, hujan setelahnya. Dan hujan saat ini!”, kataku pelan. 
Ayah, ibu, maafkan aku. Meninggalkan kalian yang begitu menyayangiku. Tetes-tetes hujan kali ini seiring dengan denyut nafasku yang terputus-putus. Maafin aku ya Yud!! Aku udah nggak kuat lagi, nemenin kamu.
Sebuah gelang kecil bertuliskan YURI diperlihatkan padaku.
”Ri, coba....li...lihat gelang ini!! Ini aku pesen tadi. Lucu kan???!! Tau nggak, artinya apa???? Yudha dan Eri!!“, masih bisa kurasakan Yudha begitu sulit mengungkapkannya. Suaranya tertahan-tahan. Hatiku bergemuruh. Kulihat setumpuk air yang hampir luber dimatanya. Kupeluk tubuhnya erat.. Ku ambil sepucuk surat yang jauh hari sudah kutulis untuknya. Ku buka tangannya yang menggenggam tangannya. 
„Yudh, baca ini ya!! Tapi...jangan disini. Tunggu....sampai kamu...dirumah. Kurasakan suaranya mulai hilang. Aku mulai tak bisa merasakan denyutku lagi
“Yud, makasih!! Bu..at semuanya“.
Masih sedikit kudengar, mahluk yang biasanya tegar, menangis terisak didepanku, tak rela melepas tubuhku.
Yudha.....maaf. Aku meninggalkanmu sendirian. Tak bisa lagi menemanimu, saat hujan pulang sekolah, saat pelangi menjelma, saat canda tawa mengisi, saat sedihmu, dan saat bahagiamu. Aku hanya sanggup bertahan sampai disini. 
Terimakasih, kau sudah menjadi pelipur lara bagiku. Mengisi hari-hariku, membuat aku bisa bertahan sampai hujan-hujan sebelumnya, dan sampai hujan hari ini. Tuhan!! Jagalah dia. Bahagiakanlah dia, berikanlah dia yang terbaik. Hujan.....terimakasih.


Untuk Yudha.....
Yudha…
Terimakasih…
Aku senang bisa mengenalmu
Aku senang bisa melewati hari-hari terakhirku denganmu
Aku senang bisa melihatmu tersenyum 
Aku senang…….senang berada disampingmu

Yudha…
Aku ingin….
Ingin terus bersamamu
Ingin terus disampingmu
Ingin terus melihatmu tersenyum untukku
Ingin terus mendengar suaramu
Ingin……terus menggenggam tanganmu

Yudha….
Aku sedih….
Sedih melihatmu kecewa karna aku
Sedih melihatmu menangis
Sedih melihatmu kehujanan hanya karna aku
Sedih mendengarmu mengucap sayang padaku
Sedih tak bisa membalas rasa sayangmu
Sedih bila harus meninggalkanmu
Sedih….mengingat waktuku tak banyak untukmu

Yudha…
Aku benci….
Benci hidupku tanpamu
Benci mengingat waktuku
Benci melihatmu memunggungiku
Benci diriku yang tak bisa membuatmu bahagia
Benci…membuatmu menunggu

Yudha….
Aku bahagia….
Bahagia karna kau….
Bahagia karna senangku, keinginanku, kesedihanku, kebencianku tentangmu…..Yudha

Maaf………….


Do not Repost please :)
This is my old....old...old short fiction. :p
Maklum kosakatanya lebih berantakan dari yang sekarang.

0 komentar: